Breaking News

Tenggelam dalam kata-kata – Orang Hindu

Tenggelam dalam kata-kata – Orang Hindu

Kita sekarang hidup di masa di mana suara-suara, bahkan suara-suara yang tadinya dianggap kuat, seakan-akan bergema dalam kehampaan. | Kredit foto: Getty Images

YoInflasi mengacu pada penurunan daya beli suatu mata uang, yang berarti bahwa seiring berjalannya waktu, jumlah uang yang sama dapat membeli lebih sedikit barang dan jasa. Demikian pula, penggunaan kata-kata, opini, dan pernyataan yang berlebihan telah mengurangi kekuatan mereka. Ketika ada kelebihan pidato dan komentar, nilai setiap kata atau pernyataan akan berkurang seperti halnya dalam ilmu ekonomi. Kita sekarang hidup di masa di mana suara-suara, bahkan suara-suara yang tadinya dianggap kuat, seakan-akan bergema dalam kehampaan.

Ada suatu masa ketika setiap ucapan penting, ketika kata-kata membawa beban perubahan. Protes, unjuk rasa, dan protes publik cukup kuat untuk mengguncang fondasi pemerintahan dan institusi. Satu suara, jika digunakan secara efektif, dapat menimbulkan dampak yang memaksa pembuat kebijakan untuk memikirkan kembali keputusan mereka. Dari suara-suara inilah lahirlah gerakan-gerakan yang membentuk perjalanan sejarah.

Namun kini, betapapun putus asa dan bersemangatnya permohonan tersebut, bagi siapa pun yang melakukan mogok makan, melepaskan jabatannya, atau menempatkan diri mereka dalam bahaya, tampaknya semakin sulit untuk membuat diri mereka didengar. Besarnya volume suara di dunia modern telah menciptakan semacam inflasi verbal: kata-kata memang banyak, namun nilainya berkurang. Dunia dibanjiri dengan kebisingan dan, di tengah gumaman opini yang terus-menerus ini, suara individu kesulitan untuk tampil menonjol.

Para politisi, yang pernah menyampaikan pidato-pidato yang menginspirasi banyak negara, kini mengulangi kalimat-kalimat lelah yang sama. Mereka bersumpah, membuat janji, dan memperkenalkan kebijakan dengan kata-kata yang dipilih secara cermat dan dirancang agar terdengar inklusif dan progresif. Namun, kata-kata ini sering kali tidak memiliki substansi yang nyata. “Kami adalah pegawai negeri dan kami membuat kebijakan yang inklusif,” kata mereka, namun kenyataannya biasanya berbeda. Kata-katanya terdengar bagus, namun kosong dan tidak lebih dari sekadar basa-basi terhadap cita-cita yang ingin mereka pertahankan.

Buruh terorganisir menandatangani kontrak yang diisi dengan bahasa yang rumit dan menyenangkan, hanya untuk menemukan bahwa perjanjian ini sering kali merugikan dalam praktiknya. Pekerja yang tidak terorganisir, yang seharusnya menjadi pihak yang paling dilindungi, diberi gelar seperti “mitra” dan bukan “pekerja” atau “buruh” sebagai upaya untuk menutupi eksploitasi yang mereka alami. Kata-kata ini, meski tampak progresif, tidak banyak mengubah kondisi mendasar. Itu semua hanyalah fasad: manipulasi bahasa untuk menghadirkan ilusi keadilan dan kesetaraan yang sebenarnya tidak ada.

Kenyataannya adalah kita tenggelam dalam kata-kata: di media sosial, dalam berita, dalam pidato, dan dalam kebijakan. Ke mana pun kita melihat, ada yang ingin mengatakan sesuatu. Namun banyaknya komunikasi telah membuat kita tidak peka terhadap dampaknya. Kata-kata tidak lagi menggerakkan kita seperti dulu. Pembengkakan kata-kata telah membuat kita mati rasa, kebal terhadap dampak yang pernah ditimbulkan oleh ucapan.

Di dunia di mana kata-kata digunakan secara berlebihan dan diremehkan, mungkin yang kita perlukan bukanlah berbicara lebih banyak, namun lebih banyak mendengarkan. Mungkin kunci untuk memulihkan kekuatan kata-kata bukan terletak pada kuantitas apa yang diucapkan, namun pada kualitas perhatian yang kita berikan kepada mereka yang berbicara. Dengan melakukan hal ini, kita mungkin menemukan kembali nilai sebenarnya dari kata-kata: kemampuannya untuk menginspirasi, menggerakkan, dan menciptakan perubahan nyata.

akshanshvimal2000@gmail.com

Sumber