Pada hari Senin kita akan merayakan Hari Martin Luther King Jr. dan melantik Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat ke-47. Ini mungkin tampak seperti kombinasi yang aneh, terutama bagi kita yang percaya bahwa Trump telah mengobarkan budaya skeptisisme, penyangkalan, dan ketidakpedulian terhadap isu-isu ketidakadilan.
Namun jika kehidupan Dr. King mengajarkan kita sesuatu, maka harapanlah yang paling berguna ketika bukti-bukti berjalan berlawanan arah, menuju keputusasaan. Dalam menghadapi masa-masa kelam, harapan mengarahkan kita menuju sesuatu yang lebih baik.
Pelayanan Dr. King berlangsung di negara yang ditandai dengan segregasi, perang yang tidak populer di luar negeri, dan meluasnya kemiskinan sosial dan ekonomi terhadap orang Amerika keturunan Afrika.
Ini bukan tahun 1963. Namun masa-masa sulit yang dialami banyak dari kita menjadikan pesan Dr. King sangat relevan.
Momen pidatonya yang berjudul “I Have a Dream”, pada bulan Maret tahun 1963 di Washington, terjadi setelah serangkaian kekerasan anti-kulit hitam yang berlangsung lama. Pada bulan Mei tahun itu, protes terhadap segregasi rasial di Birmingham, Alabama, yang kemudian dikenal sebagai Perang Salib Anak-Anak, ditanggapi dengan selang pemadam kebakaran, anjing polisi. dan tongkat. Pada bulan yang sama, massa yang marah menyerbu aksi duduk di Woolworth’s di Jackson, Merindukan. Pada bulan Juni, aktivis hak-hak sipil Medgar Evers dibunuh di luar rumahmujuga di Jackson.
Ketika Dr. King membayangkan dalam pidatonya bahwa suatu hari nanti “anak-anak mantan budak dan anak-anak mantan pemilik budak akan duduk bersama di meja persaudaraan,” mimpi itu menjadi alternatif terhadap kenyataan berdarah dan menyedihkan di masa kini.
Dr. King tidak melarikan diri dari kejahatan ini atau menyangkal kenyataan yang ada, namun dia juga tidak membiarkan keputusasaan mengambil keputusan terakhir. “Saya menolak menerima keputusasaan sebagai jawaban akhir atas ambiguitas sejarah,” katanya saat menerimanya pada tahun 1964. Pidato Hadiah Nobel. “Saya menolak gagasan bahwa manusia hanyalah sampah dan sampah di sungai kehidupan, tidak mampu mempengaruhi peristiwa yang terjadi di sekitarnya. “Saya menolak untuk menerima pandangan bahwa umat manusia secara tragis terikat pada tengah malam rasisme dan perang tanpa bintang sehingga fajar perdamaian dan persaudaraan tidak akan pernah menjadi kenyataan.”
Dia melihat kenyataan pahit saat ini dan berani menantangnya.
Dr. King terdorong oleh visi perdamaian antara Tuhan dan umat manusia yang dijelaskan oleh para nabi Ibrani dalam Alkitab. Harapan yang ia tuju pertama kali ditempa dalam tradisi gereja kulit hitam di masa mudanya. Tradisi tersebut seringkali harus bergantung pada bantuan ilahi karena tidak memiliki kekuatan politik atau ekonomi.
Dalam pidato Hadiah Nobel yang sama ia berkata: “Saya terus percaya bahwa suatu hari umat manusia akan bersujud di hadapan altar Tuhan dan akan dimahkotai sebagai pemenang atas perang dan pertumpahan darah, dan kebaikan penebusan tanpa kekerasan akan memproklamirkan kekuasaan di bumi.”
Permasalahan yang kita hadapi saat ini di Amerika bukanlah hasil dari satu pemilu saja. Dekade terakhir kehidupan Amerika telah menyaksikan parade penembakan massal yang tak ada habisnya, kekerasan bermotif rasial, ketidakstabilan ekonomi, dan perang di Israel, Gaza, dan Ukraina, yang mana warga sipil tak berdosa menderita.
Membicarakan masalah bukanlah bagian yang sulit. Yang jauh lebih sulit adalah menemukan kekuatan untuk percaya bahwa masih ada harapan di balik jeremias kita. Keputusasaan tidak pernah membebaskan siapa pun.
Saya masih terinspirasi oleh kesaksian Dr. King, namun saya rasa kita tidak bisa puas meminjam mimpinya. Tidaklah cukup bagi seseorang yang duduk di antara puing-puing tahun 1963 untuk menguraikan visi yang membantu menciptakan dunia yang lebih adil yang kita tinggali. Kita membutuhkan seseorang yang telah berjuang melewati kehancuran yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir untuk menyampaikan sepatah kata baru.
Kita memerlukan lebih banyak orang yang berani mengatakan bahwa kita tidak harus memandang orang asing sebagai ancaman, melainkan sebagai sesama pembawa citra Allah. Lihatlah perjuangan di kota-kota kita sebagaimana adanya, bukan sebagai sarana untuk mengubah topik pembicaraan. Dan akui bahwa daerah pedesaan di Amerika lebih dari sekedar tempat di mana kebencian dan suara dapat dipicu: hal ini memerlukan revitalisasi.
Kita tidak bisa memaksakan penderitaan pada orang lain tanpa penderitaan itu kembali kepada kita. Dunia kita saling terhubung, disadari atau tidak. Kita tidak bisa membangun tembok yang cukup tinggi untuk menghapus permasalahan dunia, namun kita bisa mengulurkan tangan kita cukup jauh untuk membuat perbedaan dalam kehidupan mereka yang menderita.
Dr. King adalah teladan atas tindakan pengharapannya. Itu adalah hadiah besarnya bagi kita. Kami sangat menghormatinya jika kami mengingat bahwa Senin ketiga bulan Januari masih diperuntukkan bagi para pemimpi.