‘Perubahan juga mungkin terjadi ketika laki-laki dan anak laki-laki memiliki panutan positif yang menunjukkan perilaku adil’ | Kredit foto: Getty Images/iStockphoto
seperti yang lain Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (25 November), kita dihadapkan pada kenyataan yang nyata: meskipun telah dilakukan advokasi selama puluhan tahun, hampir satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Meskipun laki-laki seringkali menjadi pelakunya, mereka juga dapat menjadi agen perubahan yang penting. Untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan, penting untuk membahas peran laki-laki dan mempertanyakan gagasan tradisional tentang maskulinitas yang didasarkan pada kekuatan, agresi dan kontrol. Gagasan-gagasan ini harus digantikan dengan budaya di mana kesetaraan, empati, dan non-kekerasan mendefinisikan gagasan-gagasan alternatif tentang maskulinitas.
Kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat, secara paradoks, sebagai “masalah laki-laki” yang paling unggul: sebuah masalah sosial yang memerlukan partisipasi aktif laki-laki. Sejak masa kanak-kanak, anak-anak dipengaruhi oleh norma-norma yang mengatakan kepada mereka bahwa kekuatan adalah dominasi, bahwa emosi adalah kelemahan, dan bahwa kendali adalah cara untuk melindungi status Anda. Ide-ide yang tertanam dalam ini tidak hanya merugikan perempuan tetapi juga membatasi kehidupan laki-laki dan hubungan mereka, menjebak mereka dalam siklus emosi yang tertekan dan perilaku agresif. Mengenali dan membentuk kembali norma-norma ini sangat penting untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat dan dunia yang lebih aman.
Isu laki-laki dan maskulinitas telah menjadi fokus utama dalam sektor pembangunan. Selama dua dekade terakhir, penelitian akademis dan upaya akar rumput telah mengungkapkan pentingnya keterlibatan dengan laki-laki, menyoroti strategi yang berhasil, dan menunjukkan bagaimana laki-laki semakin menantang norma-norma gender tradisional. Pergeseran yang semakin besar ini mencerminkan pengakuan di kalangan laki-laki atas peran mereka dalam memajukan kesetaraan gender.
Sebuah laporan dari India
dari UNESCO Inisiatif Transformasi MENTalitas bertujuan untuk mengubah cara laki-laki mendekati isu gender, tidak hanya sebagai sekutu namun juga sebagai partisipan aktif dalam transformasi sosial. Inisiatif ini menantang gagasan maskulinitas yang kaku dan stereotip serta mendorong peran positif dan suportif bagi laki-laki, serta melibatkan mereka sebagai pendukung kesetaraan gender. Seiring dengan semakin dekatnya kita menuju Agenda 2030, dalam upaya menciptakan dunia yang inklusif dan setara, UNESCO, bekerja sama dengan Pusat Penelitian Perempuan Internasional (ICRW), dengan bangga mempersembahkan laporan tersebut. “Melibatkan Laki-Laki dan Anak Laki-Laki: Laporan tentang Jalan Menuju Kesetaraan Gender di India”. Laporan ini mendokumentasikan 10 program perintis di seluruh India yang melibatkan laki-laki dan anak laki-laki untuk mengatasi ketidaksetaraan gender.
Beberapa intervensi
Melalui inisiatif yang berdampak, program-program ini mendorong dialog kritis yang bertujuan untuk menantang norma-norma gender tradisional, membentuk kembali konsep maskulinitas, dan menumbuhkan sikap inklusif. Dengan menekankan pada pendidikan, diskusi terbuka, dan aksi berbasis komunitas, program-program ini memberdayakan peserta untuk menjadi pendukung kesetaraan gender di rumah mereka dan di dalam komunitas serta institusi di mana mereka menjadi bagiannya.
Misalnya, ‘Mardon Wali Baat (A man’s thing’), sebuah inisiatif dari The YP Foundation, menggunakan cara bercerita dan media sosial untuk mendorong percakapan tentang maskulinitas positif dengan pria muda di kampus dan di komunitas. Intervensi ini membantu para remaja putra untuk secara kritis mengkaji narasi-narasi yang membatasi mereka selama tumbuh dewasa, memberdayakan mereka untuk menganut nilai-nilai rasa hormat dan kesetaraan. Demikian pula, Gerakan Kesetaraan Gender di Sekolah (GEMS), sebuah kolaborasi antara ICRW dan Departemen Pendidikan Negara Bagian Rajasthan, menggunakan kegiatan kelas interaktif untuk membantu remaja melihat dampak buruk dari maskulinitas yang beracun dan mengadopsi sikap gender yang lebih adil. Dalam salah satu sesi, seorang anak merenungkan: “Dulu saya berpikir bahwa anak-anak sebaiknya hanya mengerjakan pekerjaan rumah di luar ruangan. “Sekarang saya pikir kita harus bekerja sama dengan perempuan di rumah.” Momen transformatif ini menciptakan efek riak yang dapat membentuk kembali seluruh komunitas.
Inisiatif seperti ‘Dekh Rekh (saling peduli’) dan ‘Hamari Shaadi (perkawinan kami’) mendorong partisipasi aktif laki-laki dalam nutrisi dan keluarga berencana, mengatasi bias gender melalui tindakan kecil sehari-hari. Intervensi-intervensi ini menunjukkan bahwa ketika laki-laki dan anak laki-laki diajak untuk terlibat dalam kesetaraan gender sebagai bagian dari kehidupan mereka, dan bukan sebagai sebuah gagasan abstrak, maka perubahan menjadi mungkin.
Peran yang menentukan dari figur publik
Perubahan juga dapat terjadi jika laki-laki dan anak laki-laki memiliki teladan positif yang menunjukkan perilaku yang adil. Inisiatif-inisiatif ini menyoroti pentingnya memiliki teladan yang secara aktif berpartisipasi dalam tanggung jawab rumah tangga dan pengasuhan, menolak kekerasan sebagai solusi, melatih empati dan menerima kerentanan. Tokoh masyarakat, khususnya, dapat membantu menormalkan kesetaraan gender. Misalnya, seorang pemain kriket terkenal India baru-baru ini memicu perbincangan nasional tentang tanggung jawab dan pengasuhan bersama dengan secara terbuka berjanji untuk mengambil cuti sebagai ayah. Tindakan seperti ini menyoroti bagaimana hubungan yang adil berakar pada kepedulian, rasa hormat, dan kolaborasi, mendefinisikan ulang apa artinya “menjadi laki-laki” dengan cara yang mengangkat derajat individu dan komunitas.
Jalan menuju kesetaraan sejati masih panjang dan partisipasi aktif laki-laki sangat penting dalam upaya ini. Selain menolak kekerasan, laki-laki juga dapat menantang stereotip dan norma budaya yang melanggengkan kekerasan. Mereka harus melihat diri mereka sebagai kontributor penting terhadap perubahan, membantu membongkar gagasan-gagasan beracun tentang maskulinitas. Hal ini memerlukan kesediaan untuk mempertanyakan hak-hak istimewa yang diberikan oleh patriarki kepada dunia dan mencari cara untuk mengatasi tekanan dan harapan yang menyertai hak-hak istimewa ini. Dengan merefleksikan dan membentuk kembali peran mereka, laki-laki dapat memainkan peran transformatif dalam membangun masyarakat yang lebih adil bagi semua orang.
Di tahun baru ini, mari kita rayakan para pria dan anak laki-laki yang “Mentransformasikan sifat-sifat PRIA” dan membela kesetaraan. Bersama-sama, dengan mendefinisikan ulang maskulinitas, kita dapat menciptakan dunia di mana setiap individu, apa pun gendernya, bebas dari kekerasan dan diberdayakan untuk berkembang.
Tim Curtis adalah Direktur Kantor Regional UNESCO untuk Asia Selatan, bagian dari Tim PBB di India. Ravi Verma adalah direktur eksekutif Pusat Penelitian Perempuan Internasional (ICRW) Asia
Diterbitkan – 14 Januari 2025 12:08 IST