Breaking News

Satu Bangsa, Satu Pemilu dan Demokrasi Perwakilan

Satu Bangsa, Satu Pemilu dan Demokrasi Perwakilan

RUU Konstitusi (Seratus Dua Puluh Sembilan Amandemen), 2024, yang diperkenalkan di Lok Sabha, mengusulkan pemilihan serentak Lok Sabha dan Dewan Legislatif Wilayah Negara Bagian/Persatuan dengan penyisipan Pasal 82 (A). Reformasi ambisius ini berupaya untuk menyinkronkan pemilu, memperbaiki mandat Lok Sabha dan sekaligus menyelaraskan pemilu dengan Majelis Negara. Jika Lok Sabha atau Majelis Negara dibubarkan sebelum masa jabatan lima tahunnya, pemilihan paruh waktu hanya akan mencakup sisa masa jabatan aslinya.

RUU tersebut juga mengubah pasal 83, 172 dan 327, dengan perubahan yang berlaku sejak “tanggal yang ditentukan”, setelah pemilu 2029, sehingga memulai pemilu serentak pada tahun 2034. RUU kedua, RUU Hukum Wilayah Persatuan (Amandemen), 2024, menyelaraskan mandat Majelis Legislatif Wilayah Persatuan dengan Lok Sabha dan Majelis Negara.

Meskipun usulan ini bertujuan untuk efisiensi administratif dan mengurangi kelelahan pemilu, pertanyaan-pertanyaan kritis muncul: apakah proses ‘Satu Bangsa, Satu Pemilu (ONOE)’ sudah benar-benar inklusif dan representatif? Apakah pemahaman kita mengenai semangat perwakilan dalam demokrasi India terbatas?

Memahami demokrasi perwakilan

Demokrasi perwakilan adalah sistem di mana warga negara memilih wakil-wakilnya untuk membuat keputusan atas nama mereka. Berakar pada prinsip-prinsip pemilu yang bebas dan adil, akuntabilitas politik, dan perlindungan hak-hak individu, prinsip ini menyeimbangkan kekuasaan mayoritas dengan perlindungan kepentingan minoritas. Bentuk pemerintahan seperti ini menjadi sangat penting di negara-negara yang beragam dan padat penduduknya seperti India.

Landasan teoretisnya menekankan bahwa wakil-wakil terpilih bertindak sebagai perantara, memastikan pemerintahan yang stabil sekaligus mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang bersaing. Warga negara, karena terlalu banyak dan beragam untuk berpartisipasi secara langsung dalam pemerintahan, mendelegasikan wewenang kepada wakil-wakil mereka yang dipilih. Sistem ini tumbuh subur melalui pemilihan umum yang teratur, partisipasi masyarakat yang terinformasi, dan pengawasan dan keseimbangan kelembagaan.

Terlepas dari manfaat teoritisnya, demokrasi perwakilan menghadapi tantangan yang semakin besar dalam praktiknya. Sebuah studi Pew Research Center yang dilakukan pada tahun 2024 di 24 negara, termasuk Brasil, India, Nigeria, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat, mengungkapkan kekecewaan yang meluas terhadap sistem tersebut. Masyarakat semakin mempertanyakan keefektifannya, dan ada pula yang menjajaki alternatif lain seperti demokrasi langsung, pemerintahan ahli, atau bahkan rezim otoriter.

Di 13 negara, sebagian besar kelompok mendukung pemimpin kuat yang menghindari kontrol parlemen, yang mencerminkan rasa frustrasi terhadap inefisiensi kelembagaan. Yang mengkhawatirkan, rezim militer memperoleh antara 15% dan 17% dukungan di negara-negara seperti Yunani, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Tren-tren ini menggarisbawahi meningkatnya ketidakpercayaan terhadap sistem perwakilan, yang didorong oleh persepsi inefisiensi, korupsi, dan ingkar janji.

Ulasan Jayaprakash Narayan

Di India, perdebatan mengenai demokrasi perwakilan bukanlah hal baru. Jayaprakash Narayan, dalam karyanya yang penting, A Plea for Reconstruction of Indian Polity (1959), memberikan kritik mendalam terhadap demokrasi parlementer. JP berpendapat bahwa ketergantungan pada suara individu menciptakan “masyarakat yang teratomisasi”, dimana politik partisan dan terfragmentasi menutupi kepentingan nasional kolektif.

JP menyoroti kelemahan-kelemahan berikut: Risiko pemerintahan minoritas: Dalam sistem multi-partai seperti India, ia memperingatkan bahwa demokrasi parlementer mempunyai risiko pemerintahan yang tidak stabil dan tidak representatif.

Pertama, penghasutan dan populisme: JP menyoroti bagaimana partai politik memanipulasi opini publik melalui setengah kebenaran, janji kosong, dan retorika yang memecah belah.

Kedua, sentralisasi kekuasaan: demokrasi parlementer, menurut JP, memusatkan kekuasaan pada Negara, melemahkan lembaga perantara antara warga negara dan pemerintah nasional.

Ketiga, biaya finansial pemilu: JP mengkritik biaya pemilu yang terlalu tinggi, yang mengaitkan demokrasi dengan kepentingan orang-orang kaya dan organisasi-organisasi besar.

Meski kritis, analisis JP bertujuan untuk mereformasi dan memperkuat demokrasi. Kekhawatiran mereka bergema saat ini ketika India memperdebatkan ONOE dan implikasinya terhadap representasi demokratis.

Untuk reformasi sebesar ONOE, proses yang inklusif dan representatif sangatlah penting. Dalam negara demokrasi perwakilan, opini publik membentuk kebijakan dan membuat pemerintah bertanggung jawab terhadap aspirasi dan keprihatinan warga negara. Untuk mencapai hal ini, konsultasi pra-legislatif menjadi sangat diperlukan, sehingga memungkinkan para pembuat kebijakan untuk mengumpulkan beragam pendapat, mengatasi tantangan dan meningkatkan transparansi.

Kebijakan Konsultasi Pra Legislatif tahun 2014 memerlukan waktu minimal 30 hari untuk menerima komentar masyarakat terhadap usulan peraturan perundang-undangan. Mewajibkan rancangan undang-undang disertai dengan catatan penjelasan yang memperjelas ketentuan-ketentuan utama dalam istilah yang dapat diakses. Namun, proses yang diterapkan pada ONOE gagal. Pertama, periode konsultasi yang tidak memadai: komite tingkat tinggi mengeluarkan pemberitahuan publik pada tanggal 5 Januari 2024, meminta saran mengenai ONOE. Masyarakat hanya diberi waktu 10 hari (sampai tanggal 15 Januari) untuk memberikan tanggapan, sehingga melemahkan semangat kebijakan tahun 2014. Kedua, kurangnya materi penjelasan: meskipun komite tingkat tinggi dibentuk pada bulan September 2023, tidak ada catatan penjelasan atau dokumen latar belakang yang diberikan. disediakan, membatasi pemahaman masyarakat mengenai ruang lingkup dan tantangan proposal. Ketiga, rumusan pertanyaan: pendekatan komite tingkat tinggi, yang mencari jawaban ‘ya/tidak’ terhadap dukungan terhadap ONOE, terkesan dangkal, sehingga memberikan kesan bahwa permasalahan tersebut sudah terselesaikan.

Kegagalan prosedural ini berisiko mengasingkan masyarakat dan pemangku kepentingan, serta melemahkan kepercayaan terhadap proses reformasi. Dalam negara demokrasi yang beragam seperti India, partisipasi masyarakat yang berarti sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan mencerminkan beragam perspektif dan mendorong konsensus.

Implikasinya bagi demokrasi perwakilan

RUU ONOE menimbulkan pertanyaan kritis mengenai sifat representatif demokrasi India. Pertama, sentralisasi versus federalisme: Pemilihan waktu yang ditentukan berisiko terjadinya sentralisasi kekuasaan lebih lanjut, yang dapat melemahkan semangat federal dalam Konstitusi. Isu-isu spesifik suatu negara dapat dibayangi oleh narasi nasional. Kedua, inklusi dan partisipasi: dengan membatasi konsultasi dan mempercepat reformasi, pemerintah berisiko mengabaikan suara warga negara, sehingga melemahkan inklusi demokrasi. Ketiga, akuntabilitas pemilu: Pemilu yang sering dilakukan, meskipun membutuhkan banyak sumber daya, meningkatkan akuntabilitas dengan memberikan kesempatan kepada para pemilih untuk mengevaluasi pemerintah secara rutin. Pemilu serentak dapat melemahkan tanggung jawab ini.

Struktur demokrasi India tumbuh subur berkat partisipasi, inklusi, dan akuntabilitas warga negara. Reformasi seperti ONOE, meskipun bertujuan untuk efisiensi, tidak boleh mengkompromikan prinsip-prinsip ini. Proses yang terburu-buru melemahkan kepercayaan dan membahayakan sentralisasi. Hanya dengan berpegang pada prinsip-prinsip yang disebutkan di atas maka demokrasi kita dapat tetap benar-benar representatif baik secara harafiah maupun batin.

K. Gireesan bekerja di Departemen Administrasi Publik, Institut Pengembangan Pemuda Nasional Rajiv Gandhi, Pusat Regional, Chandigarh. Chinmay Bendre adalah Peneliti Senior di MIT School of Government (MIT-SOG), Pune. Pendapat yang diungkapkan bersifat pribadi.

Sumber