Pertanian alami, yang menitikberatkan pada keanekaragaman hayati, kesehatan tanah, dan pengurangan penggunaan bahan kimia, kini semakin berkembang di lanskap pertanian India. Andhra Pradesh, Gujarat dan Himachal Pradesh telah muncul sebagai tempat uji coba metode yang menjanjikan ini, dengan menampilkan model-model unik yang berfokus pada pertanian berkelanjutan. Anggaran Uni Eropa tahun 2024-2025, dengan alokasi sumber daya yang besar untuk pertanian alami, menandai sebuah titik balik. Namun, seiring kita bergerak menuju masa depan pertanian rendah karbon, masih ada beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab. Akankah pertanian alami mengubah pertanian India? Atau apakah upaya ini akan tetap menjadi upaya yang ambisius namun bersifat khusus?
Keberhasilan dan tantangan di beberapa negara
Di Himachal Pradesh, Prakritik Kheti Khushhal Kisan Yojana (PK3Y) di negara bagian tersebut telah menjadi pendorong utama perubahan. Para petani diberikan ₹33.000 untuk membeli sapi asli dan tambahan ₹8.000 untuk memperbaiki kondisi kandang sapi, yang membantu mempromosikan penggunaan ‘Jeevamrit’ dan ‘Beejamrit’, yaitu pupuk hayati yang terbuat dari kotoran dan urin sapi. Praktik-praktik ini membantu 6.438 petani di distrik seperti Bilaspur mengadopsi pertanian alami. Jagung yang ditanam secara alami dibeli dengan harga dukungan sebesar Rs 3.000 per kuintal.
Di Gujarat, inisiatif ‘Aapnu Dang Prakrutik Dang’, yang mendeklarasikan distrik Dang sebagai distrik alami berbasis pertanian pada tahun 2021, menunjukkan fokus negara pada mekanisasi dan bantuan keuangan. Petani menerima ₹900 per bulan untuk memelihara sapi asli dan subsidi 75% untuk membeli peralatan pertanian alami guna menyiapkan ‘Jeevamrit’. Selain itu, Universitas Ilmu Pengetahuan Alam Pertanian Gujarat, yang didirikan pada tahun 2017, telah memperkuat penelitian tentang praktik pertanian berkelanjutan. Upaya-upaya ini telah membantu melatih lebih dari 9.000 petani dalam 285 program berbasis cluster.
Andhra Pradesh menonjol dengan inisiatif Pertanian Alami yang Dikelola Komunitas Andhra Pradesh (APCNF), yang telah menjadi model global. Dengan 1,03 juta petani mempraktikkan pertanian alami di lahan seluas 1,2 juta hektar, negara bagian ini telah menerapkan praktik seperti penanaman kering sebelum musim hujan (PMDS), yang meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi penggunaan air dengan bergantung pada hujan musim hujan pertama. Sasaran negara ini adalah mengubah enam juta petani dan delapan juta hektar lahan menjadi pertanian alami pada tahun 2027.
Contoh-contoh ini menyoroti keragaman lanskap pertanian India dan potensi solusi spesifik wilayah. Namun, pertanyaannya adalah apakah model-model ini dapat diperluas secara nasional. Keberhasilan setiap wilayah bergantung pada inisiatif lokal, dan mereplikasi inisiatif tersebut dalam skala yang lebih besar menghadirkan tantangan yang signifikan.
Titik fokus pada APBN 2024
Union Budget 2024-25 mengambil langkah berani dengan memotong subsidi pupuk dan berfokus pada pertanian alami sebagai landasan transisi pertanian rendah karbon di India. Salah satu inisiatif paling ambisius adalah pendirian 10.000 pusat sumber daya bioinput (BRC). Pusat-pusat ini akan berperan penting dalam mendistribusikan pupuk hayati seperti ‘Jeevamrit’ dan ‘Beejamrit’ serta pestisida alami yang berasal dari Mimba. Dengan mengurangi ketergantungan pada bahan kimia, BRC bertujuan untuk mendukung komitmen pemerintah untuk mengalihkan satu juta petani ke pertanian alami pada tahun 2025.
Namun tantangan logistik dapat menghambat rencana ambisius ini. Pengalaman Godhan Nyay Yojana di Chhattisgarh, di mana rantai pasokan kotoran sapi yang tidak konsisten menghambat kemajuan, merupakan sebuah kisah peringatan. Keberhasilan BRC akan bergantung pada kemampuan sumber dan distribusi bioinput yang andal, terutama di wilayah yang tingkat kepemilikan ternaknya rendah. Masalah ini terutama terjadi di Andhra Pradesh, dimana kekurangan sapi lokal menyulitkan beberapa petani untuk memasok kotoran dan urin.
Selain itu, meskipun bioinput dapat menggantikan pupuk kimia, produksi dan penerapannya sering kali memerlukan banyak tenaga kerja. Ketergantungan pertanian alami pada tenaga kerja manual (khususnya dalam penyiapan dan penerapan bioinput) dapat menjadi faktor penghambat. Di distrik Dang, Gujarat, mekanisasi telah membantu meringankan beban ini, namun banyak petani kecil di seluruh India tidak memiliki akses terhadap alat-alat tersebut.
Meskipun fokus Anggaran pada branding dan sertifikasi produk alami patut dipuji, namun kemampuan petani untuk mengakses pasar premium masih belum pasti. Sertifikasi sangat penting untuk membantu petani mendapatkan harga yang lebih baik, namun skala dan kecepatan transisi ini berjalan lambat. Dapatkah sistem pertanian India secara efektif mendukung jutaan petani untuk melakukan lompatan ini, secara finansial dan logistik?
Pertanyaan tentang integrasi
Salah satu hambatan terbesar terhadap perluasan pertanian alami adalah tenaga kerja. Berbeda dengan pertanian konvensional yang sangat bergantung pada bahan kimia, pertanian alami sering kali memerlukan lebih banyak intervensi manual. Petani harus menyiapkan bio-input seperti ‘Jeevamrit’ dan ‘Beejamrit’ dan sering menggunakannya. Proses pembuatan pupuk hayati ini di rumah tidak hanya membutuhkan banyak tenaga kerja tetapi juga bergantung pada ketersediaan ternak. Tanpa mekanisasi atau dukungan teknologi, banyak petani akan kesulitan beralih ke metode alami.
Pasokan masukan merupakan masalah penting lainnya. Seperti yang terlihat dalam Godhan Nyay Yojana karya Chhattisgarh, ketersediaan kotoran dan urin sapi, bahan utama pupuk hayati, tidak konsisten. Keberhasilan 10.000 BRC bergantung pada pembangunan rantai pasokan yang andal untuk bahan-bahan tersebut. Di wilayah yang jumlah ternaknya sedikit, misalnya di wilayah Andhra Pradesh, sumber bioinput alternatif harus dikembangkan. Jika rantai pasokan ini gagal, petani dapat kembali menggunakan bahan-bahan kimia, sehingga melemahkan keseluruhan inisiatif.
Terakhir, dinamika pasar masih menjadi tantangan. Meskipun produk pertanian alami memiliki harga yang lebih tinggi, sebagian besar petani kesulitan mengakses pasar premium. Hanya sebagian kecil dari produksi pertanian India yang bersertifikat organik atau alami, dan persaingan dengan tanaman yang lebih murah dan menggunakan bahan kimia sangat ketat. Dorongan Union Budget untuk melakukan sertifikasi dan branding merupakan sebuah langkah ke arah yang benar, namun apakah langkah-langkah ini cukup untuk menopang petani selama masa transisi yang mahal dari pertanian kimia?
Pertanian alami mempunyai potensi untuk mengubah pertanian India, namun masa depannya bergantung pada upaya mengatasi beberapa tantangan penting. Penting untuk memperkuat rantai pasokan bioinput, melakukan mekanisasi proses padat karya dan meningkatkan akses terhadap pasar. Akankah BRC mampu memenuhi permintaan jutaan petani atau akankah gangguan rantai pasok membatasi dampaknya? Dapatkah India menciptakan pasar yang kuat untuk produk-produk alami yang menguntungkan petani dan konsumen?
Union Budget telah meletakkan dasar yang menjanjikan, namun masih banyak yang harus dilakukan untuk menjamin keberhasilan pertanian alami dalam jangka panjang. Bisakah visi ambisius mengenai masa depan pertanian bebas bahan kimia menjadi kenyataan bagi jutaan petani kecil di seluruh India? Atau akankah pertanian alami tetap menjadi praktik khusus di wilayah tertentu?
Laxmi Joshi bekerja di Dewan Nasional Riset Ekonomi Terapan (NCAER), New Delhi. Souryabrata Mohapatra bekerja di Dewan Nasional Riset Ekonomi Terapan (NCAER), New Delhi. Pendapat yang diungkapkan bersifat pribadi.
Diterbitkan – 17 November 2024 04:00 WIB