TPembunuhan dua perempuan baru-baru ini – satu di Kerala dan satu lagi di Tamil Nadu – menggarisbawahi sifat kekerasan berbasis gender yang meluas dan mengerikan di India. Di Kerala, seorang wanita dibunuh secara brutal oleh pasangannya, seseorang yang mungkin dia percayai. Di Tamil Nadu, seorang guru muda ditikam hingga tewas di tempat kerjanya karena menolak lamaran seorang pria. Insiden-insiden ini bukan sekedar tragedi; Hal-hal tersebut merupakan cerminan mengerikan dari masyarakat yang terus-menerus mengabaikan hak perempuan untuk mengatakan “tidak” dan otonomi mereka untuk hidup bebas dari rasa takut.
Kekerasan terhadap perempuan ini tidak bisa dilihat secara terpisah. Hal ini merupakan bagian dari sistem patriarki yang mengakar dan menormalisasi kendali atas kehidupan perempuan. Sejak masa kanak-kanak, perempuan di India diajarkan untuk menyesuaikan diri, menanggung dan memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas keinginan mereka sendiri. Ketika perempuan berani menegaskan kemandiriannya, mereka sering kali dihukum, terkadang dengan hukuman seumur hidup. Hukuman ini dimaksudkan untuk menyampaikan pesan: perempuan yang menentang status quo akan dibungkam, jika perlu dengan kekerasan.
Rekor kekerasan terhadap perempuan di India sangat buruk. Menurut Biro Catatan Kejahatan Nasional (NCRB), lebih dari 31.000 kejahatan terhadap perempuan dilaporkan setiap hari, sebuah angka mengejutkan yang hanya mengungkap puncak gunung es. Banyak insiden yang tidak dilaporkan karena stigma sosial, menyalahkan korban, dan ketidakpercayaan terhadap penegak hukum.
Pembunuhan di Kerala dan Tamil Nadu merupakan bagian dari pola yang lebih besar. Kematian terkait mahar, penyerangan seksual, pembunuhan demi kehormatan, serangan air keras, dan kekerasan dalam rumah tangga adalah ekspresi masyarakat yang lebih mengutamakan hak laki-laki dibandingkan otonomi perempuan. Jawaban “tidak” seorang perempuan – terhadap suatu hubungan, terhadap pernikahan, atau terhadap bentuk dominasi apa pun – sering kali dianggap sebagai sebuah provokasi. Mentalitas ini terwujud dalam kasus-kasus seperti yang terjadi pada guru Tamil Nadu, di mana penolakan menyebabkan kekerasan yang fatal.
Kebrutalan tidak terbatas pada bagian negara atau kelas sosial mana pun. Di Uttar Pradesh, kasus pembunuhan demi kehormatan sering muncul, di mana perempuan muda dibunuh oleh keluarganya sendiri karena memilih pasangannya. Di kota-kota metropolitan seperti Delhi dan Bengaluru, kekerasan seksual di tempat kerja dan di ruang publik tersebar luas. Daerah pedesaan melaporkan tingkat pembunuhan terkait mahar dan kekerasan dalam rumah tangga yang mengkhawatirkan. Insiden-insiden ini menunjukkan budaya impunitas, dimana para pelaku yakin bahwa mereka dapat bertindak tanpa konsekuensi.
Kita tidak bisa mengabaikan pertanyaan yang jelas: mengapa perempuan menjadi korban utama kejahatan keji tersebut? Jawabannya terletak pada sistem patriarki yang memandang perempuan sebagai inferior, sebagai harta benda yang harus dikontrol dan bukan sebagai individu yang memiliki haknya sendiri. Sejak lahir, anak perempuan sering kali diperlakukan sebagai beban. Pendidikan, ambisi, dan bahkan keputusan pribadi mereka dianggap sebagai hal sekunder dibandingkan peran mereka sebagai anak perempuan, istri, dan ibu.
Sebaliknya, laki-laki sering kali dibesarkan dengan rasa berhak atas kehidupan perempuan. Penolakan tidak dilihat sebagai batasan pribadi tetapi sebagai tantangan terhadap kejantanannya. Ketika dihadapkan pada penolakan, banyak laki-laki yang melakukan pemaksaan, pelecehan, penguntitan, dan akhirnya kekerasan. Hak ini tidak hanya bersifat personal: hak ini bersifat sistemik, diperkuat oleh norma-norma sosial, representasi media, dan bahkan lembaga-lembaga seperti penegak hukum dan peradilan, yang seringkali tidak menanggapi keluhan perempuan dengan serius.
Pembunuhan di Kerala dan Tamil Nadu adalah contoh mengerikan dari dinamika ini. Di Kerala, korban dikabarkan menjalin hubungan dengan pembunuhnya. Pengkhianatan terhadap kepercayaan ini mengungkap bahaya yang dihadapi perempuan bahkan dalam hubungan intim. Cinta dan persahabatan, yang seharusnya memberikan rasa aman dan dukungan, sering kali menjadi ruang kontrol dan kekerasan.
Di Tamil Nadu, pembunuhan terjadi di dalam sebuah sekolah, sebuah tempat yang melambangkan pertumbuhan, keamanan, dan pembinaan pikiran anak muda. Keberanian untuk melakukan kejahatan semacam itu di siang hari bolong dan di lembaga publik menunjukkan banyak impunitas dalam kekerasan terhadap perempuan. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai kegagalan institusi dalam melindungi perempuan, bahkan di ruang yang dianggap aman.
Insiden-insiden ini menyoroti tren yang meresahkan: perempuan tidak merasa aman di mana pun: tidak di rumah, tidak di tempat kerja, bahkan di ruang publik.
Respons kelembagaan terhadap kekerasan terhadap perempuan sangat tidak memadai. Meskipun India telah memberlakukan beberapa undang-undang untuk melindungi perempuan (seperti Undang-Undang KDRT, Undang-Undang Larangan Mahar, dan Undang-undang Pelecehan Seksual terhadap Perempuan di Tempat Kerja), undang-undang tersebut sering kali tidak diterapkan.
Polisi sering kali mengabaikan pengaduan sebagai “masalah internal” dan proses peradilan sangat lambat, sehingga menyebabkan korban kehilangan kepercayaan terhadap sistem. Selain itu, kurangnya sensitivitas gender di kalangan aparat penegak hukum sering kali mengarah pada sikap menyalahkan korban, semakin membuat trauma para penyintas, dan membuat pihak lain enggan melaporkan.
Media juga memainkan peran penting dalam membentuk sikap sosial. Sayangnya, pemberitaan yang sensasional sering kali menjadikan perempuan sebagai korban atau objek yang dikasihani, alih-alih memperkuat suara mereka dan menyerukan perubahan sistemik. Liputan media harus fokus pada upaya meminta pertanggungjawaban pelaku dan sistem, sekaligus menentang norma-norma patriarki yang melanggengkan kekerasan.
Mengakhiri siklus kekerasan ini memerlukan pendekatan multifaset. Hukum perlu diperkuat untuk mengatasi kejahatan terhadap perempuan secara lebih efektif. Keadilan yang cepat dan hukuman yang tegas dapat memberikan efek jera, namun tindakan hukum saja tidak cukup. Kesadaran gender harus menjadi bagian integral dari pendidikan. Anak laki-laki harus diajari sejak usia muda untuk menghormati otonomi perempuan, sementara anak perempuan harus diberdayakan untuk menegaskan hak-hak mereka tanpa takut akan reaksi negatif. Media, sastra, dan bioskop harus berhenti mengagung-agungkan perilaku posesif dan mengontrol sebagai cinta. Sebaliknya, mereka harus mempromosikan narasi saling menghormati dan kesetaraan dalam hubungan. Para penyintas kekerasan sering kali menghadapi pengucilan sosial dan kurangnya dukungan. Masyarakat harus mengambil tindakan untuk menyediakan ruang dan sumber daya yang aman bagi perempuan yang berada dalam kesulitan. Polisi, lembaga peradilan dan profesional kesehatan harus dilatih untuk menangani kasus-kasus kekerasan gender dengan sensitif dan mendesak.
Setiap kali suara perempuan dibungkam melalui kekerasan, bukan hanya nyawanya yang hilang namun juga bagian dari kemanusiaan kita bersama. Tragedi yang baru-baru ini terjadi di Kerala dan Tamil Nadu harus menjadi peringatan. Keamanan dan kebebasan perempuan bukanlah hak istimewa yang harus diberikan, namun hak yang harus dilindungi dengan ketat.
Sudah saatnya masyarakat melakukan introspeksi: mengapa hanya perempuan saja yang menerapkan standar kepatuhan dan diam yang mustahil? Mengapa pernyataan pilihan Anda mengundang kekerasan? Jawabannya terletak pada pembongkaran struktur patriarki dan membangun budaya di mana perempuan dapat hidup tanpa rasa takut.
Mari kita pastikan bahwa suara-suara para perempuan yang dibungkam ini tidak dilupakan namun menjadi seruan untuk perubahan. Kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dihindari: kekerasan dapat dicegah. Dan tanggung jawab untuk mencegahnya ada pada kita masing-masing.
misericordiafamila@gmail.com
Diterbitkan – 29 Desember 2024 02:47 WIB