Abdul Kadir memandang ke laut ketika tumpukan awan badai mengaburkan prospek penangkapan ikan hari itu di Teluk Balikpapan.
“Situasi ini sering kita hadapi,” kata Kadir kepada Mongabay Indonesia. “Tapi kami bertahan sebaik yang kami bisa.”
Seperti kebanyakan nelayan di desa Jenebora, perahu Kadir yang berbobot satu ton terlalu kecil untuk menjelajah melampaui Teluk Balikpapan dan menangkap ikan di perairan yang lebih dalam di Selat Makassar, yang memisahkan pantai timur Kalimantan dan bagian barat pulau Sulawesi.
Didirikan pada tahun 1935, Jenebora saat ini merupakan desa yang terdiri dari beragam etnis Bajau dan Bugis, serta imigran Jawa dan keluarga asli Dayak Pesisir. Sebagian besar dari hampir 3.500 penduduk desa ini bergantung pada penangkapan ikan dari perahu kecil di Teluk Balikpapan, sebuah teluk dalam yang melintasi pulau Kalimantan, tepat di sebelah selatan kota Balikpapan.
Di masa lalu, sebuah kapal nelayan yang berlayar ke teluk dari Jenebora dapat mengangkut hingga 40 kilogram (sekitar 90 pon) ikan dan udang hanya dalam satu hari, menghasilkan hingga 6 juta rupee ($380) ketika harga sedang tinggi.
“Terjadi penurunan hasil tangkapan dan harga,” kata Kadir.
Nelayan di sini mengatakan bahwa mereka mulai merasakan perlambatan di teluk sejak pertengahan tahun 1990an, setelah sejumlah perusahaan batu bara dan kayu mulai beroperasi di wilayah teluk. Pembangunan kawasan industri Kariangau di seberang kota Jenebora pada tahun 2012 memperburuk situasi.
Pada tahun 2018, pipa retak milik perusahaan minyak negara Pertamina menyebabkan ledakan yang menewaskan lima orang dan menumpahkan minyak seluas 200 kilometer persegi (77 mil persegi) ke teluk.
Namun saat ini, masyarakat Jenebora khawatir bahwa lokasi pembangunan terbesar di Indonesia, sebuah kota besar baru yang akan menjadi ibu kota negara, dapat menenggelamkan perekonomian perikanan yang telah menopang keluarga-keluarga di wilayah teluk selama beberapa generasi.
“
Pada akhirnya, jika hal ini terus berlanjut, maka akan menimbulkan bencana ekologis yang tidak dapat dihindari di masa depan. Ekosistem disekitarnya perlahan akan mati. Padang lamun ini juga merupakan rumah bagi duyung.
Mappaselle, CEO Pokja Pesisir
pembentukan modal
Pada tahun 2019, presiden Indonesia saat itu, Joko Widodo, mengumumkan rencana untuk memindahkan ibu kota negara terpadat keempat di dunia itu ke lokasi baru di pantai timur Kalimantan, 1.200 kilometer (745 mil) dari Jakarta.
Perubahan ini bertujuan untuk mengurangi kemacetan di Jakarta, yang memiliki populasi sekitar 30 juta jiwa di wilayah metropolitan, sekaligus mengalihkan sebagian fokus politik dan ekonomi dari pulau Jawa yang secara tradisional dominan.
Penundaan dan lambatnya investasi terus menghambat kemajuan visi mantan presiden tersebut, sehingga memicu keraguan mengenai kelangsungan proyek tersebut. Meskipun permulaannya lambat, lalu lintas pelabuhan di Teluk Balikpapan meningkat untuk mendukung pekerjaan konstruksi awal.
“Kapal yang melewati Teluk Balikpapan semakin banyak,” kata Kadir.
Nelayan Jenebora mengatakan kapal-kapal komersial yang berlabuh di daerah penangkapan ikan telah mengurangi hasil tangkapan lokal. Selain itu, beberapa kawasan penangkapan ikan utama kini terlarang bagi kota karena dikategorikan sebagai bagian dari pengembangan ibu kota atau kawasan industri.
Laporan Lapangan Mongabay Sebelumnya disajikan bahwa PT Putra Demang Mentawir telah memakukan tanda bertuliskan namanya dan nomor kontak resmi di batang hutan bakau. Sementara itu, PT Mitra Murni Perkasa (MMP) telah menebangi hutan bakau di kawasan seperti kawasan industri Kariangau untuk pengembangan pabrik pengolahan nikel.
Kadir mengaku sudah mengantisipasi permasalahan baru tersebut saat melihat rancangan rencana zonasi Kalimantan Timur tahun 2021, provinsi tempat Kota Balikpapan dan Desa Jenebora berada. Tiga tahun kemudian, para nelayan Jenebora mengatakan bahwa mereka belum menerima tanggapan atas kekhawatiran mereka mengenai teluk tempat mereka menangkap ikan yang dikategorikan kembali sebagai kawasan pelabuhan.
Undang-undang tahun 2022 yang menjadi landasan hukum ibu kota baru memuat lampiran yang menyebutkan Pelabuhan Semayang untuk jalur penumpang internasional dan terminal Kariangau untuk angkutan peti kemas.
Muhammad Abduh, ketua asosiasi nelayan setempat di Jenebora, mengatakan hasil tangkapan ikan dan udang di kawasan Teluk Balikpapan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tren ini telah menyebabkan banyak orang meninggalkan kota untuk mencari penghidupan baru.
“Kalau kita diam di sini pasti akan sulit mencari ikan jika menghadapi kapal tanker minyak ini semua,” ujarnya.
Abduh mengatakan komunikasi yang lebih baik dengan kontraktor dan pelaku usaha di daerah tersebut dapat membawa perbaikan, namun ia menambahkan bahwa perusahaan tampaknya tidak peduli dengan kesejahteraan nelayan setempat.
“Sampai saat ini kami belum menemukan solusinya,” ujarnya.
Modal manusia
Penebangan hutan bakau oleh pengembang di Teluk Balikpapan telah mengubah ekosistem laut, sehingga membuat kehidupan laut kehilangan tempat mencari makan dan berkembang biak yang disediakan oleh pepohonan.
Mappaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, sebuah organisasi konservasi nirlaba yang berbasis di Provinsi Kalimantan Timur, mengatakan pengakuan para nelayan di kawasan Teluk Balikpapan mencerminkan sejumlah faktor lingkungan yang saling menguatkan.
“Semuanya terhubung,” kata Mappaselle. “Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada ikan atau udang di sekitar Teluk Balikpapan.”
Kawasan industri Kariangau saat ini menjadi pusat industri dan logistik terkemuka dengan lebih dari 20 pabrik yang tersebar di lahan seluas 3.500 hektar (8.650 hektar) di pinggiran teluk.
Meningkatnya sedimentasi akibat perubahan penggunaan lahan ini akan menyebabkan lebih banyak sedimentasi di perairan, karena peningkatan kekeruhan akan menghalangi sinar matahari dan menghalangi padang lamun untuk berfotosintesis.
“Jika hal itu terjadi, ekosistem di sekitarnya akan mati secara perlahan,” kata Mappaselle. “Lamun ini juga merupakan rumah bagi duyung.”
Hal yang memberatkan adalah tidak adanya muara sungai besar di Teluk Balikpapan sehingga membatasi pergerakan air di teluk tersebut menuju Selat Makassar yang membelah Pulau Kalimantan dan Sulawesi.
Sedimen dan puing-puing menumpuk di teluk, terperangkap oleh pasang surut air laut, tanpa saluran keluar alami.
“Pada akhirnya, jika hal ini terus berlanjut, maka akan menimbulkan bencana ekologi yang tidak dapat dihindari di masa depan,” kata Mappaselle.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang melakukan sensus nasional menunjukkan terdapat 4.126 keluarga nelayan di empat desa di teluk: Maridan, Mentawir, Pamaluan dan Pantai Lango.
“Kami masih berusaha memastikan nelayan memiliki ruang untuk menangkap kerang,” kata Mappaselle.
Laporan lapangan di ibu kota baru, yang disebut Nusantara, pada bulan September mendokumentasikan pembangunan pelabuhan baru di sepanjang jaringan hutan bakau seluas 16.000 hektar (39.500 hektar) yang membentang dari muara Sungai Mahakam hingga kawasan Teluk Balikpapan.
“Saya mengamati pembangunan berbagai pelabuhan logistik [the transportation of] material seperti pasir dan batu,” kata Tri Atmoko, ahli primata di Badan Penelitian Nasional Indonesia, kepada Mongabay. laporan bulan September ini.
“Area mangrove yang tadinya masih utuh kini ditebangi untuk membangun pelabuhan-pelabuhan tersebut,” kata Tri.
Hukuman mati
Imam Syafi’i, seorang peneliti di Badan Penelitian Nasional Indonesia, mengatakan bahwa para perencana kota telah mempromosikan ibu kota baru Indonesia sebagai “kota hutan”, namun hal ini mengabaikan lingkungan laut di sekitarnya, yang akan segera berfungsi sebagai kawasan penangkapan ikan.
“Konsep tentang [Nusantara as a] Forest City mengecualikan Teluk Balikpapan dari rencana pembangunan ramah lingkungan,” kata Imam dalam presentasinya baru-baru ini.
Otoritas ibu kota negara menyatakan hutan bakau yang ada di kawasan Teluk Balikpapan akan digolongkan sebagai kawasan lindung.
Sodikin, pejabat yang mengawasi kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Penajam Paser Utara, yang berbagi teluk dengan Balikpapan, mengakui kesulitan yang dihadapi para nelayan di kabupaten tersebut, serta kompleksnya realitas pembangunan dalam skala Nusantara.
“Bagaimana Anda bisa membangun kota tanpa melakukan apa pun?” Sodikin mengatakan, seraya menambahkan bahwa pemerintah berupaya semaksimal mungkin untuk membatasi deforestasi mangrove di Kabupaten Penajam Paser Utara.
“Jika ada klarifikasi, kami akan meminta ganti rugi kepada pihak terkait,” ujarnya.
Sekembalinya ke Teluk Balikpapan, Abdul Kadir menyaksikan awan badai sambil menceritakan pengalaman pertamanya memancing saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, para nelayan tidak perlu khawatir akan berkurangnya hasil tangkapan, lalu lintas di pelabuhan, atau terbatasnya tempat mencari nafkah.
“Sekarang, jika berat badan saya bertambah 1 atau 2 kilogram,” katanya, “Saya bersyukur.”
Cerita ini diterbitkan dengan izin dari Mongabay.com.