Perubahan iklim meningkatkan frekuensi pola cuaca ekstrem, dan para ilmuwan kini menghubungkan fluktuasi ini dengan kebakaran hutan dahsyat yang melanda Los Angeles. Pergeseran cepat antara kondisi basah dan kering, yang disebut “climate whiplash,” telah menciptakan surplus vegetasi kering yang berbahaya dan siap untuk dibakar.
Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah meningkatkan kemungkinan terjadinya kondisi “whiplash” ini secara global sebesar antara 31% dan 66% sejak pertengahan abad ke-20. Para peneliti menyoroti California sebagai contoh nyata dari fenomena ini, di mana kekeringan parah selama bertahun-tahun diikuti oleh hujan lebat pada tahun 2022 dan 2023. Namun, kembalinya kondisi yang sangat kering pada akhir tahun 2024 telah memicu bencana musim kebakaran.
Setidaknya lima orang kehilangan nyawa akibat kebakaran hutan, dan lebih dari 179.000 penduduk terpaksa mengungsi. Ratusan bangunan telah menjadi abu karena api menghanguskan sebagian besar wilayah Los Angeles.
“Serangkaian whiplash di California telah melipatgandakan risiko kebakaran,” jelas Dr. Daniel Swain dari UCLA, penulis utama studi tersebut. “Tahun-tahun basah memicu pertumbuhan vegetasi yang cepat, yang kemudian mengering karena kekeringan dan panas ekstrem, sehingga menciptakan kondisi ideal untuk kebakaran hutan.”
Spons atmosfer yang mengembang
Studi ini menyoroti bagaimana pemanasan atmosfer memperburuk siklus ini. Untuk setiap derajat Celcius pemanasan, udara dapat menahan dan melepaskan 7% lebih banyak air, sehingga bertindak sebagai “spons atmosfer yang mengembang”. Hal ini menyebabkan curah hujan yang lebih tinggi pada musim hujan dan penguapan yang lebih besar pada musim kemarau, sehingga menyebabkan tanaman menjadi kering dan sangat mudah terbakar.
Profesor Sir Brian Hoskins, Ketua Institut Perubahan Iklim Grantham di Imperial College London, menekankan implikasi global dari penelitian ini. “Kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Los Angeles menggambarkan betapa fluktuatifnya curah hujan yang memicu banjir dan kebakaran. Yang mengkhawatirkan, model iklim menunjukkan kemungkinan peningkatan volatilitas ini hingga dua kali lipat dengan pemanasan sebesar 3°C, dan hal ini semakin mungkin terjadi”.
Pemanasan global dan risiko kebakaran hutan
Medan terjal di California dan vegetasi alami yang rawan kebakaran semakin memperbesar tingkat keparahan kebakaran hutan. Kekeringan selama puluhan tahun yang diikuti oleh kondisi basah mendorong pertumbuhan tanaman yang pesat, yang kini telah mengering karena suhu tinggi dan curah hujan yang minim.
“California telah mengalami peningkatan paling signifikan dalam hal durasi dan ekstremitas musim kebakaran secara global dalam beberapa dekade terakhir,” kata Profesor Stefan Doerr, direktur Wildfire Research Centre di Swansea University. Ia memperingatkan bahwa meskipun perubahan iklim telah memperburuk kondisi ramah terhadap kebakaran, masih terlalu dini untuk menentukan peran pastinya dalam wabah kebakaran hutan ini.
Ancaman yang semakin besar
Ketika iklim global terus menghangat, para ilmuwan memperingatkan akan terjadinya hari-hari “cuaca kebakaran” yang lebih sering dan parah, yang akan memperpanjang musim kebakaran dan memperbesar risiko di seluruh dunia. Di Los Angeles, curah hujan di pusat kota sejak bulan Oktober hanya 0,16 inci (lebih dari empat inci di bawah rata-rata), yang semakin menggarisbawahi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Bagi warga California, kebakaran hutan yang dahsyat ini menjadi pengingat yang memilukan akan meningkatnya ketidakstabilan akibat perubahan iklim dan perlunya tindakan segera.