Protes pro-Palestina terhadap perayaan Natal di kota-kota Barat bukan sekadar dampak buruk dari aktivisme politik yang meluas ke musim liburan. Ini adalah serangan yang diperhitungkan terhadap salah satu pilar tradisi Kristen yang paling terlihat, dibungkus dengan retorika solidaritas namun digunakan sebagai senjata dalam kampanye perang budaya yang lebih luas.
Ambil contoh, kejadian di Melbourne pada tanggal 10 November, ketika pengunjuk rasa mengganggu pembukaan etalase Natal Myer yang ikonik, sebuah tradisi yang dicintai sejak tahun 1956. Mengacungkan spanduk dengan tulisan anti-Israel slogan-slogan tersebut, para aktivis ini memaksa pembatalan acara tersebut, mengecewakan keluarga dan anak-anak yang berkumpul untuk mengantisipasi ritual hari raya yang disayangi tersebut.
Pemandangan serupa terjadi di London pada tanggal 23 Desember 2023, ketika pengunjuk rasa pro-Palestina turun ke Oxford Street, mengubah salah satu akhir pekan belanja tersibuk menjadi ajang gangguan. Toko-toko tutup, kerumunan dibubarkan dan suasana pesta pun terjadi.
suasana digantikan oleh konfrontasi dan kekacauan.
Apa yang menyatukan peristiwa-peristiwa ini bukan hanya gangguan terhadap kehidupan masyarakat namun juga pilihan tujuan yang disengaja. Natal, simbol kegembiraan, kekeluargaan, dan persatuan, dimasukkan ke dalam narasi kedukaan. Bukan suatu kebetulan jika para aktivis ini memfokuskan upaya mereka
tradisi yang begitu terlihat dan dirayakan secara universal. Tujuannya bukan sekadar memprotes, tapi mendominasi, mengganti narasi yang satu dengan narasi yang lain.
Inti dari gangguan ini adalah pandangan dunia yang meresahkan: bahwa advokasi untuk satu tujuan harus mengorbankan tujuan lainnya. Aktivis pro-Palestina, dalam kasus ini, membingkai perjuangan mereka sebagai zero-sum game, di mana tradisi Barat – khususnya yang berakar pada nilai-nilai Yahudi-Kristen – harus dibongkar untuk memberi ruang bagi agenda mereka.
Natal, dengan visibilitas global dan keterkaitannya dengan budaya Barat, menjadi sasaran empuk dan ampuh.
Ini bukanlah sebuah aktivisme yang mencari hidup berdampingan atau dialog. Itu adalah tuntutan untuk tunduk.
Dengan mengganggu perayaan Natal, para aktivis secara simbolis menyerang fondasi budaya dan moral Barat, menampilkan perjuangan Palestina bukan sebagai seruan untuk keadilan namun sebagai ultimatum: penghancuran satu pandangan dunia untuk mengangkat pandangan dunia lainnya.
Menggunakan Natal sebagai platform aktivisme politik mengungkap strategi yang lebih dalam. Protes ini tidak dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran; Ini tentang pemaksaan. Dengan menyerang peristiwa-peristiwa yang apolitis dan berorientasi kekeluargaan, para aktivis memaksakan sebuah biner moral pada masyarakat: mendukung tujuan mereka atau terlibat dalam penderitaan yang mereka nyatakan.
Kerangka kerja ini tidak hanya tidak jujur secara intelektual tetapi juga sangat memecah belah. Hal ini memaksa masyarakat untuk membuat pilihan yang salah, mengasingkan calon sekutu dan memupuk kebencian.
Yang lebih berbahaya lagi, mereka menggunakan kedok solidaritas untuk membenarkan serangan terhadap prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat pluralistik berfungsi: prinsip-prinsip seperti toleransi, saling menghormati, dan kebebasan merayakan tradisi sendiri tanpa campur tangan.
Apa yang kita saksikan bukan hanya gangguan pada perayaan Natal tetapi juga penegasan perang budaya. Serangan terhadap Natal merupakan simbol dari tren yang lebih luas, di mana nilai-nilai Yahudi-Kristen secara sistematis dirusak atas nama progresivisme.
Pembelaan terhadap perjuangan Palestina menjadi sebuah pukulan telak terhadap identitas Barat, tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang lebih luas.
Tindakan-tindakan ini menimbulkan pertanyaan yang tidak mengenakkan: dunia seperti apa yang para aktivis ini impikan? Dunia di mana solidaritas dipaksakan melalui intimidasi? Di manakah tradisi budaya dihilangkan demi memberikan ruang bagi narasi tunggal? Visi seperti ini bukanlah visi keadilan atau pembebasan, melainkan dominasi dan eksklusi.
Masyarakat Barat harus mengakui protes ini apa adanya: sebuah upaya untuk mengikis fondasi pluralisme. Membela Natal bukan berarti mengabaikan penderitaan rakyat Palestina. Ini tentang menegaskan nilai-nilai yang memungkinkan berbagai tradisi dan kepercayaan hidup berdampingan. Hal ini tentang menolak membiarkan perang budaya mendikte kehidupan masyarakat.
Serangan pada hari Natal harus menjadi peringatan. Hal ini mengingatkan kita bahwa tradisi budaya bukanlah peninggalan yang harus dibuang, melainkan benang merah yang sangat penting dalam tatanan masyarakat. Jika kita membiarkan hal ini dibatalkan atas nama aktivisme, kita berisiko kehilangan tidak hanya warisan kita tetapi juga prinsip-prinsip yang memungkinkan kebebasan dan hidup berdampingan.
Ini bukan hanya tentang menyelamatkan Natal; Ini tentang mempertahankan gagasan masyarakat di mana setiap orang dapat merayakan keyakinan mereka tanpa takut diganggu atau terhapus. Dalam menghadapi paksaan, kita harus berdiri teguh, bukan hanya demi liburan tapi demi nilai-nilai kemajemukan itu
mendefinisikan diri kita sendiri.