Breaking News

Pemberontakan bersenjata terhadap politik parlementer

Pemberontakan bersenjata terhadap politik parlementer

Keberhasilan pemilu baru-baru ini Janatha Vimukti Peramuna Kekuatan Rakyat Nasional (National People’s Power) yang dipimpin oleh JVP dalam pemilihan parlemen dan presiden di Sri Lanka menyoroti tren yang kurang terlihat, di mana kelompok-kelompok revolusioner sayap kiri, yang dulu berdedikasi pada perjuangan bersenjata, kini beralih ke keterlibatan demokratis. Secara historis dipandu oleh ideologi seperti Marxisme-Leninisme dan Maoisme, kelompok-kelompok ini memandang negara sebagai alat penindasan kapitalis, percaya bahwa keadilan sosial dan ekonomi memerlukan pembongkaran struktur kapitalis dengan kekerasan.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, beberapa pemberontakan yang paling menonjol, termasuk Maois di Nepal, Front Pembebasan Nasional Farabundo Martí (FMLN) di El Salvador, dan kelompok Marxis-Leninis tertentu di India, telah mengikuti jalur baru setelah memasuki parlemen politik. Pergeseran ini mencerminkan kombinasi pragmatis antara adaptasi ideologis dan daya tanggap terhadap perubahan realitas politik.

Pemberontakan sayap kiri sering kali muncul dengan keyakinan bahwa pembongkaran negara kapitalis diperlukan demi keadilan sosial, karena mereka memandang negara tersebut bias terhadap kepentingan elit, dan perjuangan bersenjata menjadi prinsip utama perlawanan. Keyakinan ini seringkali didasarkan pada keyakinan bahwa hanya melalui kekerasan struktur penindasan dapat digulingkan. Banyak gerakan, seperti yang terjadi di El Salvador, India, Nepal dan Sri Lanka, menganut prinsip “perang rakyat yang berkepanjangan” untuk mencapai penggulingan negara secara revolusioner.

Namun, pemberontakan yang berkepanjangan merupakan hal yang menakutkan dan membutuhkan sumber daya yang besar, dukungan masyarakat dan ketahanan untuk melawan taktik kontra pemberontakan yang dilakukan negara. Seiring waktu, faktor-faktor ini mendorong kelompok-kelompok revolusioner untuk mempertimbangkan kembali perjuangan bersenjata sebagai strategi optimal. Realitas keras pemberontakan sering kali mengungkapkan bahwa sentimen masyarakat dapat berubah arah terhadap kekerasan yang berkelanjutan, terutama ketika jatuhnya korban sipil dan penderitaan yang berkepanjangan melemahkan dukungan rakyat. Kesadaran ini telah mendorong beberapa faksi untuk bereksperimen dengan keterlibatan politik untuk mencapai tujuan mereka tanpa kekerasan dan berpotensi mendapatkan penerimaan publik yang lebih besar.

Sebuah contoh yang mencolok di Nepal

Transformasi pemberontakan Maois di Nepal adalah contoh nyata dari pergeseran politik ini. Partai Komunis Nepal (Maois) melancarkan perang saudara pada tahun 1996 untuk membubarkan monarki dan mendirikan republik rakyat. Setelah satu dekade konflik yang intens, kelompok Maois memilih untuk bernegosiasi dan menandatangani Perjanjian Perdamaian Komprehensif pada tahun 2006. Perjanjian bersejarah ini memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam politik arus utama, dan memungkinkan mantan pemberontak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Pada tahun 2008, mereka memainkan peran penting dalam transisi Nepal menuju republik federal demokratis, sebuah pencapaian bersejarah bagi sebuah gerakan yang dulunya ditandai dengan komitmennya terhadap penggulingan secara revolusioner. Partisipasi mereka dalam politik arus utama menunjukkan bagaimana cita-cita revolusioner dapat diadaptasi untuk diterapkan di lembaga-lembaga politik yang sudah mapan.

Transformasi serupa terjadi di El Salvador, di mana FMLN, sebuah koalisi kelompok gerilya Marxis-Leninis, mengobarkan perang saudara pada tahun 1980an, yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang didukung AS hingga perjanjian perdamaian tahun 1992 mengizinkan mereka untuk berubah dari negara yang tadinya menjadi negara demokrasi. kelompok pemberontak menjadi kelompok pemberontak. kepada partai politik yang sah. FMLN pada akhirnya memenangkan pemilu nasional, yang menggambarkan bagaimana kelompok pemberontak sayap kiri dapat menyalurkan agenda sosial dan ekonomi mereka melalui proses demokrasi, sehingga memperoleh dukungan yang signifikan di arena pemilu. Seiring berjalannya waktu, partai tersebut berpindah dari Marxisme revolusioner ke pendirian sayap kiri yang lebih moderat, menyelaraskan diri dengan sosialisme demokratis.

Apa yang mendorong perubahan tersebut?

Di India, ceritanya lebih kompleks. Partai Komunis India (Maois) terus melakukan pemberontakan bersenjata, terutama di daerah pedesaan di mana kehadiran pemerintah lemah, dan mempertahankan konsep Mao tentang “perang rakyat yang berkepanjangan.” Namun, faksi Maois lainnya, seperti Partai Pembebasan Komunis India (Marxis-Leninis), telah meninggalkan perjuangan bersenjata. Pada tahun 1980an, Pembebasan CPI(ML) beralih ke partisipasi demokratis, berpartisipasi dalam pemilu dan menjadi entitas politik.

Di Sri Lanka, JVP memberikan contoh terbaru mengenai pemberontak yang berubah menjadi politisi. Awalnya merupakan partai Marxis-Leninis-Maois, JVP memimpin dua pemberontakan pada tahun 1971 dan 1980an, menggunakan metode cerdik dalam strategi kekerasannya untuk merebut kekuasaan. Penindasan brutal terhadap kedua pemberontakan tersebut menyebabkan kelompok tersebut mengubah arah dan beralih ke politik parlementer. Sejak tahun 1990an, dalam kerangka demokrasi, JVP dapat mengadvokasi reformasi ekonomi, keadilan sosial dan hak-hak pekerja tanpa harus mengeluarkan biaya dan pengorbanan perang.

Peralihan dari perjuangan bersenjata ke politik elektoral didorong oleh beberapa faktor, dan realisme strategis adalah salah satu faktor yang paling penting. Pemberontakan yang berkepanjangan memerlukan banyak sumber daya dan seringkali tidak berkelanjutan, seperti yang terlihat di negara-negara seperti Nepal dan El Salvador, di mana perjanjian perdamaian yang dinegosiasikan membuka pintu bagi pengaruh politik tanpa kekerasan yang berkelanjutan. Perubahan sentimen masyarakat juga merupakan faktor kunci lainnya. Seiring berjalannya waktu, kekerasan yang terus terjadi sering kali mengasingkan penduduk sipil, sehingga menyulitkan kelompok pemberontak untuk mempertahankan basis dukungan setianya.

Tekanan internasional juga mendorong kelompok pemberontak untuk melakukan transisi menuju keterlibatan politik yang damai. Aktor-aktor internasional telah memainkan peran penting dalam memediasi perjanjian perdamaian dalam konteks global yang seringkali mengutuk pemberontakan dengan kekerasan, khususnya di wilayah di mana pemberontakan telah berlangsung lama. Di El Salvador, misalnya, PBB memainkan peran penting dalam menengahi perdamaian antara pemerintah dan FMLN, sehingga memungkinkan transisi dari pemberontak menjadi tokoh politik yang sah.

Kelompok pemberontak seringkali mengalami evolusi ideologis yang signifikan, mengadaptasi doktrin revolusioner yang kaku agar sesuai dengan kerangka demokrasi ketika konflik yang berkepanjangan mendorong mereka untuk mengevaluasi kembali metode yang mereka gunakan. JVP di Sri Lanka, misalnya, melakukan reorientasi akar Marxis-Leninis-Maoisnya untuk mengadvokasi keadilan sosial dalam struktur demokratis, sehingga menjangkau basis sosial yang lebih luas tanpa menggunakan konfrontasi bersenjata. Meskipun JVP telah melunakkan retorika revolusionernya untuk menarik lebih banyak pemilih, JVP tetap berkomitmen pada nilai-nilai inti keadilan sosial dan ekonomi.

Transisi dari pemberontakan ke politik elektoral mengungkap sebuah paradoks di antara kelompok-kelompok revolusioner yang dulunya berakar pada ideologi yang kaku. Meskipun mereka mungkin menganggap sistem demokrasi sebagai instrumen kapitalis, banyak yang kini menggunakannya untuk mendorong perubahan. Beberapa orang melihat hal ini sebagai sebuah pelemahan cita-cita revolusioner, namun hal ini mencerminkan perubahan pragmatis: mengakui bahwa revolusi dengan kekerasan bukanlah satu-satunya jalan menuju kekuasaan, dan mungkin bukan yang paling efektif. Dengan memasuki politik arus utama, kelompok-kelompok ini mendapatkan peluang untuk memperluas keterwakilan dan memperkuat suara-suara yang terpinggirkan. Misalnya, kelompok Maois di Nepal memprioritaskan masyarakat pedesaan dan marginal, serta mendorong pemerintahan yang lebih inklusif.

Jawabannya

Beroperasi dalam kerangka politik yang sudah mapan memberikan legitimasi kepada kelompok-kelompok bekas pemberontak dan kemampuan yang lebih besar untuk mengatasi ketidakadilan sosial yang memotivasi perjuangan mereka. Namun, masih belum pasti apakah perubahan ini mengarah pada reformasi sejati atau kooptasi oleh sistem yang sudah ada. Kelompok-kelompok ini sering menghadapi skeptisisme publik mengenai komitmen mereka terhadap norma-norma demokrasi, karena masyarakat mungkin mengingat masa lalu mereka yang penuh kekerasan. Agar berhasil, mereka harus membangun kredibilitas dan menyeimbangkan cita-cita mereka dengan tuntutan praktis pemerintahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ideologi mendorong tindakan mereka atau sekadar berfungsi sebagai alat kekuasaan. Transisi mereka sering kali mencerminkan realitas politik dan bukannya meninggalkan suatu ideologi.

Integrasi kelompok pemberontak ke dalam politik demokratis dapat memperkuat legitimasi demokrasi. Kelompok-kelompok ini seringkali mempunyai basis dukungan yang besar, dan keterlibatan mereka dapat memperkuat kepercayaan terhadap proses demokrasi, mendorong sistem politik yang lebih partisipatif dan tangguh, terutama ketika kelompok-kelompok ini berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi dan berkontribusi terhadap pembangunan struktur pemerintahan yang inklusif.

Meskipun beberapa orang mungkin melihat adaptasi ini sebagai komitmen ideologis, hal ini juga dapat dilihat sebagai sebuah evolusi. Pemberontakan sayap kiri yang beradaptasi dengan politik parlementer dapat dirasionalisasikan sebagai fase baru perjuangan ideologis, dengan menafsirkan ulang revolusi dalam konteks demokrasi modern. Dari sudut pandang ini, partisipasi parlemen bukanlah sebuah kutukan melainkan sebuah penyesuaian terhadap realitas kontemporer di mana negara dapat direformasi dari dalam.

Transisi dari pemberontakan bersenjata ke partisipasi politik membentuk kembali narasi pemberontakan kontemporer. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan radikal dapat berkembang dalam kerangka demokrasi. Hal ini juga menghidupkan kembali kepercayaan terhadap bentuk-bentuk sosialisme demokratis tertentu, dengan menawarkan jalan untuk mengatasi masalah-masalah sistemik kapitalisme.

Ajay Darshan Behera adalah Profesor di Akademi Studi Internasional MMAJ, Universitas Jamia Millia Islamia, New Delhi.

Sumber